Sunday, 23 October 2011

Beberapa Catatan Seputar Ibadah Haji

materi dakwah, ibadah haji
Pada kesempatan ini saya ingin memberikan Beberapa Catatan Seputar Ibadah Haji. Catatan ini bukan karena saya melakukan ibadah haji, melainkan karena saya melihat dan menyaksikan kerabat, tetangga, dan handai tolan serta masyarakat yang menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Pantas disyukuri ketika kita dapat menunaikan ibadah haji. Bersyukur karena Allah telah memberikan karunia berupa kemampuan financial, kesehatan dan keluasan kesempatan untuk  pergi ke Baitullah, ka’bah di Makkah al-Mukarromah. Sementara yang lain juga pantas bersyukur karena dari waktu ke waktu jumlah yang mendaftar untuk dapat menunaikan ibadah haji terus meningkat. Bahkan sekarang waiting list telah sampai hingga tahun 2019. Subhan Allah!!!

Catatan yang ingin saya berikan terkait beberapa hal yang semestinya tidak atau kurang perlu dilakukan pada saat akan, sedang dan ketika pulang ibadah haji. Ya, jamaah haji kita cenderung melakukan hal-hal yang akan saya sebutkan nanti.

Beberapa hal tersebut di antaranya adalah :

Saat sebelum keberangkatan haji

Para calon jamaah haji ketika akan berangkat menunaikan rukun Islam yang kelima merasa akan setor nyawa ke tanah suci, Makkah. Soal mati atau tidak adalah urusan Allah. Di manapun seseorang bisa menjemput ajal. Apakah di tanah suci Makkah ataukan di tempat lain. Hal ini menyebabkan munculnya rasa takut dan kekhawatiran berlebihan, baik calon jamaah haji itu sendiri atau anggota keluarga yang akan ditinggal. Maka peristiwa yang bias kita saksikan adalah drama tangis-tangisan di antrara mereka yang disebabkan kekhawatiran tidak akan berjumpa lagi. Hal persis sama dengan ketika tentara yang akan maju ke medan tempur.

Hal lainnya adalah ketika akan berpamitan, calon jamaah haji mengundang sanak saudara, karib kerabat, tetangga dan kawan-kawan. Apa yang dilakukan ini sesungguhnya adalah benar. Sebelum pergi memang sangat dianjurkan untuk berpamitan dan menitipkan anggota keluarganya kepada yang lainnya. Karena dirasa sulit, maka mereka kemudian dikumpulkan di satu tempat untuk diadakan upacara (pengajian) dalam rangka pamitan ini. Lalu apa yang keliru terhadap hal ini? Adalah kebiasaan berlebihan yang dilakukan para calon jamaah haji. Berlebihan dari segi pendanaan akan menyebabkan membengkaknya anggaran. Hal-hal selain kepentingan ibadah haji inilah terkadang menjadi penyebab besarnya cost biaya ibadah haji di luar yang ditentukan pemerintah. Berlebihan dalam hal lain juga memantik munculnya riya dalam menunaikan ibadah haji. Riya dapat menyebabkan ibadah kita tidak ikhlas dan merusaknya. Ketulusan dan kesucian niat adalah modal sangat penting yang harus diperhatikan.
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَا...رواه البخارى

“Sesungguhnya semua amal tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang akan memperoleh (balasan) sesuai yang diatkannya...(HR. Bukhari)

Saat menunaikan ibadah haji

Ketika sudah berada di tanah suci, ada jamaah yang tidak khusu’ dan berkonsentrasi untuk menunaikan ibadah haji. Mereka malah sibuk berbelanja dan berfikir tentang oleh-oleh untuk anak cucu. Setiap kaki melangkah keluar dari pondokan, yang ada dalam pikirannya adalah belanja dan belanja.
Sementara jamaah yang lain ada yang enggan keluar dari pondokan. Kebiasaannya hanya tidur dan tidur. Tidak pernah membaca dan tadarus Al-Quran. Berjamaah ke masjid adalah kegiatan yang sangat memberatkan bagi mereka.

Di samping itu, ada juga yang dari hari pertama menginjakkan kaki di tanah suci tidak pernah berhenti cekcok dan adu mulut dengan pasangannya (suami-istri). Kebiasaan buruknya di rumah di bawa hingga ke tanah suci.
Yang menggelikan ada di diantara mereka yang berusaha mendapatkan kain kiswah (penutup) ka’bah. Mereka berkeyakinan bahwa kiswah ka’bah dapat memverkan berkah keselamatan, kesehatan, rizki dan sebagainya. Kalau tidak dapat mendapatkannya, mereka mengambil batu ataupun pasirnya untuk di bawa pulang. Aneh-aneh saja!

Lalu apa yang dilakukan anggota keluarga di rumah? Tidak sedikit dari mereka mengadakan acara pengajian atau tadarus Al-Quran selama anggota keluarga yang lain berada di tanah suci. Tadarus Al-Qur’an adalah ibadah dan masyru’. Akan tetapi kalau diselenggarakan dalam rangka hal ini tentu tidak ada tuntunan teks Ayat maupun Hadis Shahih yang dapat dijadikan pedoman. Artinya, mengadakan acara khusus tadarus Al-Qur’an selama pelaksanaan ibadah haji adalah tidak masyru’ dan sangat mungkit bid’ah.

Setelah menunaikan ibadah haji

Sementara itu ketika sudah sampai di rumah, jamaah haji mendapatkan predikat baru yaitu “pak Haji” dan “bu Haji”. Panggilan tersebut tidak sedikit membuat seseorang menjadi “berbeda”. Ia menjadi manusia lain dan harus mempunyai hak-hak sosial secara khusus di tengah-tengah masyarakatnya.
Ada perasaan ujub dan sombong. Padahal seharusnya setelah menunaikan ibadah haji mereka menjadi tawadhu’ dan rendah hati. Menjadi sangat dekat dengan Allah adalah keharusan yang lain. Kalau seseorang memiliki sifat ini atau negatif yang lainnya maka jelas bahwa hajinya tidak mabrur. Padahal seseorang yang menunaikan ibadah haji sangat berharap hajinya mabrur. Haji yang mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga.

Kemabruran haji seseorang sesuai dengan do’a yang kita panjatkan saat menghantarkannya ke tanah suci :
اللهم حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وتجارة لن تبور

No comments:

Post a Comment