Manusia adalah manusia dan bukan binatang. Cara hidup manusia semestinya berbeda dengan cara binatang. Cara hidup manusia harus dilandasi dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip ketuhanan maka manusia akan memiliki akhlak terpuji.
Manusia yang hidupnya seperti binatang, tanpa terikat oleh aturan-aturan ketuhanan maka tak ubahnya ia adalah binatang. Ali Syari’ati mengatakan bahwa manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi kehewanan. Mana di antara dua dimensi itu yang mendominasi manusia, apakah dimensi kemanusiaan atau dimensi kehewanan. Bila yang mendominasi adalah dimenesi kemanusiaan maka manusia adalah manusia. Dan bila yang mendominasi adalah dimensi kehewanan, maka manusia adalah manusia hanya sebatas fisik, sedangkan rohaninya adalah binatang.
Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dia sangat berbeda dengan makhluk Allah yang lain. Apakah itu Malaikat, jin, syatan, binatang, tumbuhan atau benda-benda mati yang ada di seluruh jagad raya ini. Manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk yang lain dikarenakan ada kesempurnaan dalam penciptaannya. Kesempurnaan manusia meliputi keseluruhan aspek yang diperlukan untuk menjadi khalifah fil ardhi (khalifah di muka bumi). Hal-hal itu antara lain adalah akal, kreatifitas, indra, nafsu, jiwa seni, dinamis, marah, sedih, gembira dan potensi-potensi lain yang memang sangat diperlukan untuk hidup di muka bumi. Kesempurnaan penciptaan manusia dikatakan dalam QS. At-Tin ayat : 4
لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh Aku telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Namun penciptaan manusia yang menempati posisi teratas di antara makhluk-makhluk Allah yang lain tidaka akan selamanya bila manusia tidak dapat mempertahankannya. Bila manusia bertindak seperti binatang maka ia akan mengalami penurunan kualitas kemanusiaanya, nahkan hingga derajat yang paling rendah. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam QS. At-Tin ayat : 5
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“kemudian Aku kembalikan manusia ketempat yang serendah-rendahnya”
Sungguh ironis, manusia yang dulu diposisikan oleh Allah sangat mulia dan terhormat yang karena kemuliaan dan kehormatannya Allah memerintahkan makhluk yang lain untuk sujud kepadanya kemudian mengalami degradasi kemanusiaan. Malaikat yang merupakan makhluk luar biasa juga diperintahkan untuk bersujud kepada Manusia (Adam). Perintah sujud ini termaktub dalam surat al-Baqarah : 34
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“dan ingatlah ketika Aku berkata kepada Malaikat,”bersujudlah kamu kepada Adam” maka semua Malaikat bersujud kepadanya kecuali iblis. Dia membangkan dan sombong. Dan dia termasuk golongan yang kafir”
Untuk kontek Indonesia saat ini, akhlak terpuji harus benar-benar dijadikan acuan bertindak seluruh elemen bangsa ini. Hal ini penting agar bangsa ini tidak terjerembab dalam degradasi moral yang pada akhirnya akan membawa pada tahap rendahnya dimensi kemanusiaan manusia Indonesia. Apapun istilahnya, apakah akhlak mulia, terpuji atau pendidikan karakter asal itu membawa pada tahap kemuliaan bangsa Indonesia tidak menjadi masalah. Toh, yang penting bukan istilah kata-katanya tetapi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa Indonesia sangat membutuhkan acuan kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusia. Bila melihat kondisi saat ini, dimana masyarakat Indonesesia telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa, akhlak mulia dan atau pendidikan karakter sangatlah diperlukan. Bias dikatakan, sebagian cara hidup bangsa ini telah menggunakan cara hidup binatang. Sebagai contoh adalah tindakan masyarakat (termasuk mahasiswa) dalam menyelesaikan masalah yang lebih cenderung menggunakan kekerasan, tawuran, saling membunuh dan sebagainya. Yang kuat memakan yang lemah, banyaknya tindakan korup, budaya kumpul kebo atau hidup bersama tanpa didasari dengan pernikahan adalah sebagian contoh lain dari prilaku binatang yang saat ini berkembang luas di masyarakat Indonesia.
No comments:
Post a Comment