Saturday, 3 December 2011

Peran Politik Muslimah dalam Sejarah(Bag. 1)

Dalam perkembangan sejarah dari waktu ke waktu, selalu ada catatan menarik tentang peran politik muslimah di tengah-tengah dominasi laki-laki muslim. Tidak hanya pada masa sekarang, pada zaman awal Islam pun sudah ada politisi muslimah yang tercatat dalam catatan sejarah politik muslimah. Materi Dakwah Islam dan Kultum menyajikannya dalam dua tahap posting menyangkut Peran Politik Muslimah dalam Sejarah. Dan posting yang Anda baca ini adalah bagian pertama.

Aisyah mungkin sebagi contoh politisi muslimah yang masuk dalam catatan sejarah politik perempuan muslimah. Dia sempat menjadi pemimpin perang melawan kubu Ali bin abi Thalib karena mempersoalkan kekhalifahan Ali.
 
Sebagian penulis sejarah Islam menuturkan bahwa Allah menghendaki untuk menjadikan pengalaman Aisyah dalam tragedi perang Jamalnya sebagai pelajaran bagi ummat Islam. Perang unta dianggap merupakan cambuk dalam sejarah umat Islam. Kenangan tentang Aisyah terus saja tertanam hingga pada masa kita sekarang. Seolah-olah kenangan tersebut tidak henti-hentinya ingin mengatakan pada ummat Islam; lihatlah bagaimana usaha keras tersebut telah gagal sejak awal dari sejarah kita! Kita tidak harus mengulanginya secara sia-sia. Kita tidak harus menumpahkan darah lagi dan menghancurkan rumah-rumah baru.

Al Afghani dalam bukunya yang berjudul Aisyah wa al Siyasa, menulis secara lengkap tentang biografi Aisyah dan mencoba memberikan nasehat bagi generasi mendatang tentang keberadaan perempuan dalam politik praktis. Buku tersebut sangat laris hingga harus dicetak ulang pada tahun 1971 di Beirut.
Pertanyaannya kemudian, benarkah Aisyah menjadi titik awal terpuruknya peran perempuan di wilayah politik dan publik? Benarkah suara Aisyah adalah aib bagi sejarah Islam? Bukankah suara Aisyah justru cermin bahwa setiap individu dapat melakukan tindakan politiknya? Bukankah menentang khalifah, menarik sekelompok orang untuk membangkang dan terjun ke dalam perang merupakan keterlibatan yang biasa dalam kehidupan politik?

Nabi SAW wafat di Madinah pada hari senin, 8 Juni 632 M, ketika Aisyah baru berusia 18 tahun. Dan pada usia 42 tahun, Aisyah terjun ke kancah pertempuran sebagai pimpinan sebuah pasukan yang menentang keabsahan khalifah keempat, Ali Bin Abi Thalib. Peperangan ini terjadi di Basrah pada 4 Desember 656 M.

Sesungguhnya Aisyah telah memainkan peranan kunci dalam kehidupan dua khalifah yang pertama, dan dia memberikan andil dalam mengguncang khalifah ketiga, Ustman, dengan menolak membantunya ketika ia dikepung oleh para pemberontak di rumahnya sendiri. Aisyah meninggalkan Madinah ketika kota tersebut berada di ujung tanduk perang saudara untuk melakukan ibadah haji ke Mekkah, sekalipun banyak protes dari para pemuka keluarga atau kelompoknya. Demikian juga terhadap Ali, khalifah keempat, dia telah memberikan andil yang besar bagi kejatuhannya dengan memimpin pasukan pemberontak yang menentang keabsahannya. Para sejarahwan menyebut pertempuran ini dengan ‘Perang Unta” merujuk pada unta yang dikendarai oleh Aisyah. Dengan sebutan perang Jamal (dalam bahasa Indonesia artinya unta), menurut Fatima Mernissi, seorang feminis muslimah asal Maroko, yang dituju sesungguhnya adalah terhapusnya nama seorang pemimpin wanita Islam dari ingatan para gadis kecil muslim di kemudian hari. Karena yang diingat adalah hanya unta yang dinaiki Aisyah. Meskipun demikian, tetap saja hal itu tidak bisa menghapus Aisyah dari sejarah Islam. Apalagi menghapus bahwa sesungguhnya perempuan pernah muncul dalam kancah politik praktis.

Sebagai bagian dari perkataan nabi, hadits seringkali masih dianggap sebagai bagian dari teks suci, dan kisah tentang keterlibatan Aisyah salah satunya termaktub dalam periwayatan hadits. Dan dari hadits pula selalu disimpulkan adalah bahwa mutlak perlu mencegah perempuan dari politik praktis. Fatalnya kasus gagalnya Aisyah dalam Perang Unta selalu dijadikan pegangan, yaitu contoh dari Allah tentang ketidakbolehan perempuan terjun ke dalam politik praktis. Masih menurut Al Afghani dalam Aisyah wa al Siyasa, Aisyah justru menjadi bukti tidak diperbolehkannya peran serta kaum perempuan dalam memegang kekuasaan. Aisyah membuktikan hidupnya di depan politik. Bagi Al Afghani, darah kaum muslimin telah tumpah. Ribuan sahabat SAW terbunuh, para ulama, pahlawan dari berbagai kemenangan Islam, para pemimpin terkemuka telah kehilangan nyawanya. Semua itu akibat campur tangan Aisyah dalam politik. Aisyah dianggap bertanggungjawab terhadap pertumpahan darah pada Perang Unta, yang menyebabkan terpecahnya dunia muslim menjadi dua fraksi Suni dan Shi’i.

Namun bagi Fatima Mernissi, argumen Al Afghani tidak bias diterima begitu saja, sebab berdasarkan penelitiannya juga dari beberapa teks, perseteruan Aisyah melawan Ali karena dia mempertahankan prinsip yang dicontohkan Rasulullah. Maka jihad politik Aisyah bukanlah sebagai aib bagi sejarah politik Islam.

Dalam sebagian besar tulisan sejarah Islam pula, makna politik sering dimaknai hanya pada konteks politik praktis, padahal sesungguhnya makna politik dapat lebih luas dari itu. Sejarah Islam memang sarat dengan cerita jatuh atau tumbangnya sebuah kekuasaan, atau dari perang ke perang, maka memang tidak heran bahwa jika muncul tokoh perempuan di dalamnya meniscayakan bahwa peran politik memang hanya sebatas itu.

Masih dalam masalah mengkritisi tulisan sejarah (terutama sejarah Islam) baik yang didapat dari kitab tarikh maupun tafsir dan hadits, dimana di dalam tulisan-tulisan tersebut peranan perempuan (terutama pada masa pra Islam) sering dituliskan hanya sebagai pembakar semangat kaum laki-laki untuk bertempur sampai titik akhir, untuk tidak melarikan diri, dan untuk berani mati di medan laga. Peranan yang sesungguhnya sangat erat dengan citra (stereotype) seorang perempuan yang memang bertugas sebagai perawat yang mengobati luka-luka dan mengubur mereka yang sekarat.

Contoh-contohnya misalnya dapat dilihat dari kisah tentang seorang perempuan yang bernama Hindun. Diriwayatkan di beberapa kitab tafsir bahwa ada seorang perempuan bernama Hindun yang senang menyanyikan nyanyian di masa-masa perang. Dari sini saja dapat dilihat bahwa kisah Hindun dalam tafsir tersebut semakin memperjelas citra perempuan yang seolah hanya sebagai pemberi semangat untuk berani mati kepada kaum laki-laki yang berperang. Tidak justru memberikan gambaran bahwa perempuannya sesungguhnya dapat juga berlaku seperti laki-laki secara umum, berani menghadapi kematian dalam perang. Hanya Tafsir Al-Thabari sajalah yang menyertakan kisah seorang perempuan yang bernama Ummu Salamah. Di dalamnya dikisahkan bahwa ada seorang perempuan bernama Ummu Salamah yang telah berani menggugat keberadaan perempuan dalam Al-qur’an. Pada suatu hari Ummu Salamah mengajukan masalah-masalah politis yang hanya bisa dilakukan perempuan dewasa atau laki-laki, lalu dia bertanya kepada Rasulullah “Mengapa kaum laki-laki selalu disebut-sebut dalam al-Qur’an dan mengapa kami (perempuan) tidak disebutkan?” Mendengar pertanyaan Ummu Salamah tadi, Nabi tidak segera menjawab karena menunggu wahyu dari Allah. Lalu pada suatu waktu, ketika dia menyisir rambutnya dengan tenang karena penasaran pertanyaannya belum dijawab Rasulullah, dia mendengar Nabi membaca sebuah ayat dari dalam masjid “Wahai manusia! Allah berfirman dalam kitab-Nya “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, dst”, dan Nabi terus menerus membaca rangkaian ayat ini sampai pada bagian terakhir dari ayat ini yang menyatakan “Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.

Kiranya karena sebab pertanyaan dari Ummu Salamah yang hendak mendapatkan hak politiknyalah, perempuan mendapatkan hak perlakuan yang sama di mata Allah yang secara jelas tertera dalam teks al-Qur’an. Ayat tersebut dapat dikatakan sebagai ayat yang revolusioner di masa itu karena dengan jelas dikatakan laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak dan pahala dari apa yang dikerjakannya. Sedangkan pada masa Nabi, kaum jahiliyah masih sering membedakan antara hak laki-laki dan perempuan.

Banyak tanda-tanda yang menyebabkan orang meyakini bahwa pertanyaan yang diajukan di atas mewakili suatu gerakan protes yang sesungguhnya datang dari kaum perempuan. Jadi pertanyaan Ummu Salamah, merupakan akibat desakan politis dan bukan suatu spontanitas dari istri Nabi yang tercinta. Hak politik adalah hak dimana setiap individu berhak menjadi subyek atas suatu kehendak bebas yang selalu hadir. Suatu kesadaran diri yang tidak bisa lenyap sepanjang dia masih hidup.

Dalam suatu riwayat lain, Umar bin Khattab ra pernah berkata: “Dulu kami pada masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah SWT menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami”.

berlanjut ke bagian kedua.

No comments:

Post a Comment