Posting kali ini merupakan kelanjutan dari Hidup indah dengan akhlak terpuji (1). Dalam Hidup indah dengan akhlak terpuji (2) tercantum hal-hal sebagi berikut : definisi atau perngetian akhlak, misi kerasulan Nabi Muhammad saw., potensi kebaikan dan keburukan manusia, dan baromater atau tolok ukur akhlak.
Dalam posting terdahulu dikatakan bahwa akhlak mulia adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sangat penting karena akhlak mulia menjadi penyebab berbedanya kita sebagai manusia dari binatang.
Namun tahukan Anda tentang pengertian Akhlak. Berikut ini adalah pengertian yang terdapat dalam bahasa Arab. Pengertian tersebut adalah :
حَالٌ نَفْسِيَّةٌ تَصْدُرُ عَنْهَا الاَفْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ
“Akhlak adalah suatu keadaan jiwa (hati) yang menjadi sumber munculnya perbuatan dengan mudah”
Maksud dari pengertian di atas adalah bahwa akhlak menunjuk pada satu keadaan dalam jiwa seseorang yang memberikan pengaruh pada tindakannya. Dan tindakan yang muncul itu adalah dengan spontan.
Sebagai ilustrasi dari pengertian ini adalah, ketika sedang berjalan dan kaki kita terantuk batu. Lalu mulut kita mengucapkan sesuatu dengan spontan karena peristiwa tersebut, apakah kalimat yang baik atau yang buruk, maka itulah yang disebut dengan akhlak.
Contoh lain adalah, saat ada pengemis datang ke rumah untuk meminta sedekah. Tindakan spontan apa yang kemudian kita lakukan, memberi sedekah atau malah membentak dan mengusirnya. Tindakan spontan kita yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa atau kita itulah yang dinamakan akhlak. Bila tindakan dan ucapan kita baik, maka baiklah akhlak kita dan bila yang mencul dari tindakan dan ucapan kita adalah sesuatu yang buruk maka akhlak kita adalah buruk.
Akhlak yang mulia (akhlak mahmudah) merupakan misi kerasulan Muhammad saw.. artinya, nabi Muhammad saw saat diutus menjadi Nabi dan Rasul adalah dengan membawa misi akhlak ini, yaitu untuk memperbaiki akhlak dan menunjukkan jalan kepada akhlak terpuji. Misi ini tertuang dalam sebuah Hadis riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah :
اِنَّماَ بُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مكَارِمَ اْلاَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Muhammad dipilih oleh Allah untuk menjadi nabi dan rasul dengan membawa misi di atas tidak lain dikarenakan ia sendiri memiliki akhlak atau budi pekerti yang sangat mulia. Kemuliaan akhlaknya telah diakui oleh, tidak saja dari kalangan orang yang mencintainya tetapi juga dari kalangan yang membencinya. Ketinggian dan kemuliaan akhlak Muhammad tergambar dalam surat Al-Qalam : 4
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”
Sebagai orang yang membawa misi memperbaiki akhlak, tentu sangat logis bila ia sendiri dipersyaratkan memiliki akhlak terpuji. Ibarat seorang pemberantas korupsi, bagimana mungkin dapat membersihkan negeri ini dari korupsi kalau ia sendiri adalah seorang koruptor. Dan bagaimana mungkin ia dapat menyapu dengan bersih bila sapu yang digunakan penuh dengan kotoran. Seperti KPK, maka mereka yang ada di dalamnya haruslah orang-orang yang bersih dari korupsi.
Kemulian dan keagungan pribadi Rasulullah ini disebutkan sebagai pribadi qur’ani. Maksudnya adalah bahwa pribadi dan akhlak Rasul sangat dijiwai oleh nilai-nilai luhur sebagaimana yang terdapat dalam kandungan Al-Qur’an. Akhlak Rasul yang qur’ani ini dijelaskan dalam hadis berikut ini :
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبِرِينِي بِخُلُقِ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“…budi pekerti Nabi adalah Al-Qur’an” (HR. Ahmad)
Manusia mempunyai dua sisi, baik dan buruk
Pada kenyataannya, manusia dibekali oleh Allah dengan potensi yang sama kuatnya. Yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat buruk. Tergantung sisi mana yang akan kuat pengaruhnya terhadap perkembangan prilaku manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah ilahiyah yang sama. Ia suci karena tidak membawa dosa dan kesalahan warisan dari nenek moyangnya. Perkembangan dalam dirinyalah yang membawa kepada kebaikan atau keburukan setelah dewasa nanti. Perkembangan ini diperngaruhi oleh lingkungan internalnya sendiri ataupun eksternal. Lingkungan internal adalah dorongan nafsu dan sahwat dalam diri manusia sendiri. Sementara lingkungan eksternal adalah lingkungan yang ada disekityarnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
“tidak ada seorang anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan dengan membawa fitrah ketuhanan. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya ia Yahudi, Nasrani atau Majusi...” (HR. Muslim)
Dari fitrah ilahiyah, kemudian berkembang hingga dewasanya nanti sesuai dengan keadaan dalam diri dan lingkungannya. Apakah dia mampu mengikuti petunjuk kebaikan ataukah mendurhakainya. Menjunjung tinggi budi pekerti mulai atau jatuh terjerembab dalam lubang hina kedurhakaan.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
"Maka kami telah memberi petunjuk kepada manusia dua jalan mendaki (baik dan buruk)" (QS. Al-Balad : 10)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّهاَ فَاَلْهَمَهاَ فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰهاَ
“…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan” (QS. Asy-Syams : 7 – 8)
Dalam kontek kehidupan kita pribadi, mari kita ukur kebaikan dan keburukan kita dengan sifat-sifat Allah yang tertuang dalam asma’ul husna. Apakah tindakan kita sesuai dengan sifat-sifat-Nya tersebut atau berkebalikannya. Sebagai manusia mukmin tentu sifat-sifat Allah menjadi landasan pijak untuk berpikir, bersikap dan bertindak. Tidak sebaliknya, hidup ini sangat jauh dari sifat-sifat ilahiyah. Segala tindakan didasari oleh sahwat dan nafsu hewaniyah. Sehingga menyebabkan terdegradasinya kemanusiaan manusia.
Sebagai penutup dari posting ini, camkan sabda Nabi berikut ini :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّوَّاسَ بْنَ سَمْعَانَ الاَنْصَارِىِّ قَالَ وَكَذَا قَالَ زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ الأَنْصَارِيُّ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْهِ
"…Zaid bin Hubab berkata : aku bertanya kepada Nabi saw tentang al-birr dan al itsm. Nabi Menjawab : al-birr adalah akhlak yang terpuji. Dan al-Itsm adalah apa yang mengguncang di dadamu (hatimu) dan tidak suka diketahui orang lain" (HR. Ahmad)
عَنْ وَابِصَةَ ابن معبد... قَالَ جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ اسْتَفْتِ نَفْسَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
"…tanyalah hatimu ! al-birr adalah sesuatu yang hati dan jiwa tenang/tentram terhadapnya. Sedangkan al-itsm adalah sesuatu yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa" (HR. Ahmad)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
"…Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat melebihi akhlak yang luhur" (HR. HR. Tirmidzi)