Friday, 11 November 2011

ISLAM DOKTRIN DAN PERADABAN

Pendahuluan

Dalam buku ini ada empat hal pokok yang akan diungkap oleh cak Nur. Keempat hal pokok tersebut adalah : Tauhid dan Emansipasi Harkat Manusia, Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional, Membangun Masyarakat Etika, dan Universalisme Islam dan Kemoderenan. Keempatnya akan diuraikan satu persatu dalam sub judul di bawah ini.

Tawhid dan Emansipasi Harkat Manusia

Sebagaimana dikatakan oleh Kitab Suci, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi. Manusia juga merupakan puncak kreasi Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai harkat dan matabat kemanusiaan yang sangat luar biasa. Namun demikian, manusia juga memiliki potensi untuk terdegradasi menjadi sangat rendah.

Cak Nur menegaskan bahwa dalam kenyataan historis, perjuangan memperoleh dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan merupakan ciri dminan manusia sebagai makhluk sosia. Sebab dalam kenyataannya, manusia lebih banyak mengalami kehilangan fitrah dan kebahagiaan daripada sebaliknya. Di sinilah fungsi diutusnya para rasul untuk membimbing manusia melawan kejatuhannya sendiri dan mengemansipasi harkat dan matabatnya dari kejatuhannya itu (hal. 94).

Dalam pandangan cak Nur, problem utama manusia adalah syirk. Karena syirk (politeisme) baik yang kuno maupun modern selalu bermuara pada pemenjaraan harkat dan martabat manusia dan kemerosotannya. Tentu yang demikian ini bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk tertinggi dan dimuliakan Tuhan. Mengapa ?, karena akan berakibat pada pengangkatan makhluk selain Tuhan menjadi sama dengan Tuhan sehingga hal ini akan berakibat pada lebih tingginya nilai tuhan palsu itu dibandingkan dengan mansuia itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kenapa syirik dikategorikan dosa terbesar manusia (hal. 96). 

Untuk itu, agar tetap terjaga harkat dan martabat kemanusiaannya, manusia harus menyelamatkan imannya dengan tetap menghambakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berarti, dengan hanya menghambakan diri kepada Tuhan, manusia akan mendapatkan kepribadiannya yang utuh dan integral.

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional

Salah satu judul yang terbahas dalam tema di atas adalah “Kekuatan Dan Kelemahan Paham Asy’ari Sebagai Doktrin ‘Aqidah Islamiyah”. Dalam judul ini diungkapkan bahwa, paham asy’ariyah di samping memiliki kelebihan atau kekuatan juga memiliki kelemahan atau kekurangan. Kenapa paham asy’ariyah ? karena Islam di Indonesia bermadzhab Syafi’i. Kaum Syafi’I kebanyakan menganut aqidah Asy’ari.

Dalam dunia kalam dikenal argumenpargumen logis dan dialektis. Kaum Asy’ari  juga banyak menggunakannya, meskipun metode takwil yang menjadi salah satu akibat penggunaan itu hanya menduduki tempat sekunder. Kemampuan Abu al-Hasan al-Asy’ari menggunakan argumen-argumen logis dan dialektis diperoleh dari latihan dan pendidikannya sendiri sebagai seorang Mu’tazulah sebelum ia akhirnya keluar dari paham Mu’tazilah.

Letak keunggulan sistem Asy’ari atas lainnya terletak pada segi metodologinya yang merupakan jalan tengah antara berbagai ekstrimitas (hal. 273). Dalam penggunaan metdolodi mantiq, Asy’ari tidak menggunakannya sebagai kerangka kebenaran an sich, melainkan sekedar alat untu membuat kejelasan-kejelasan dan itupun hanya dalam urutan sekunder. Metodenya menghasilkan jalan tengah antara metode harfi kaum Hambali dan metode ta’wili kaum Mu’tazili.

Sedangkan posisi kelemahannya terletak pada kegagalannya menjelaskan teorinya tentang usaha manusia. Asy’ari ingin berbeda dengan kaum Jabari yang fatalis dan kaum Qadari yang menganggap manusia mempunyai kemerdekaan berbuat. Teori Asy’ari disebut kasb. Teorinya ingin mengabungkan dua teori yang kontradiktif di atas. Namun, misinya justru sulit dipahami. Ia menjelaskan bahwa “manusia tidaklah dipaksa dan juga tidak bebas merdeka dalam melakukan usaha”. Selanjutnya, “bila Allah memberi pahala makasemata karena kemurahan-Nya dan bila Allah menyiksa maka itu karena keadilan-Nya” (hal.283). Kedua rumusan tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan manusia.

Membangun Masyarakat Etika

Dalam kontek ini cak Nur menjelaskan dua makna, yaitu makna perorangan dan kemasyarakatan. Penjelasan tentang makna perorangan diawalinya dengan menjekaskan makna salam, kedamaian dan keselarasan. Salam adalah makna perorangan sikap keagamaan yang tulus. Ia juga merupakan kelanjutan sikap rela kepada Allah atas segala keputusan-Nya. Keadaan jiwa yang rela itu dicapai karena adanya ketenangan batin akibat rasa dekat kepada Allah. Inilah derjat manusia yang telah mencapai al-nafs al-mutmainnah

Seseorang yang rela serta bertawakal kepada Allah tentulah seorang yang selalu dzikir kepada-Nya. Dzikir atau ingat kepada Allah secara konsisten merupakan segi keimanan yang sangat penting sekaligus menjadi sumber kebijakan yang tertinggi (hal. 349). Dan karena sikap itu merupakan keharusan sikap rela dan tawakkal kepada-Nya, maka ingat kepada Allah juga menjadi sumber ketenangan jiwa dan ketentramannya Orang yang beriman yaitu dia yang merasakan ketentraman jiwa karena ingat kepada Allah

Mengenai makna kemasyarakatan cak Nur menjelaskan bahwa baik dan jahat dalam kehidupan nyata seorang manusiadi dunia akhirnya didefinisikan sebagai kualitas sikap, tingkah laku dan perbuatannya dalam hubungannya denagn sesama manusia.

Dalam arti yang seluas-luasnya, amal saleh ialah setiap tingkah laku pribadi yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosial yangteratur dan berkesopanan. Maka salah satu yang diharapkan dari adanya iman dalam dada adalah wjud nyata dalam tindakan yang berdimensi sosial.

Dimensi sosial keimanan juga dinyatakan dalam bentuk kata ishlah al-ardl, reformasi dunia. Para Nabi yang diutus selalu melakukan reformasi dunia, yaitu perjuangan melawan kezaliman dan menegakkan keadilan. Maka komitmen kepada usaha menciptakan masyarakat yang memenuhi rasa keadilan merupakan makna sosial keyakinan aama yang harus ditumbuhkan dalam setiap pribadi yang beriman. Dengan kata lain, rasa keadilan merupakan manifestasi rasa kemanusiaan, sehingga, dari sudut pandangan ini, makna kemasyarakatan keyakinan agama atau iman adalah rasa kemanusiaan itu, yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan hablun min al-nas sebagai kelanjutan dari hablun min Allah
Hablun min al-nas dan hablun min Allah di simbolkan melalui shalat. Ketika melakukan takbirat al-ikhram melambangkan manusia sedang melakukan hubungan dengan Allah. Dan ketika melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri melambangkan bahwa manusia itu harus menoleh kepada keadaan di sekitarnya. Hal ini mencerminkan bahwa orang yang beriman seharusnya memiliki kesadaran diri akan dimensi sosial (hal. 354).

Universalisme Islam dan Kemoderenan

Salah satu hal penting yang mendapat perhatian cak Nur dalam “Universalisme Islam dan Kemoderenan” adalah “ajaran nilai etisdalam kitab suci”. Nilai etis yang dimaksudkan cak Nur adalah dalam pengertian yang sangat mendasar, yaitu konsep dan ajaran yang serba meliputi, yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah. Namun demikian, yang hendak dibicarakan cak Nur adalah yang terbatas pada hal-hal yang dianggap pokok saja, yang relevan dengan problem sekarang.

Dalam buku “Islam, Doktrin dan Peradaban” ini ingin ditegaskan kembali mengenai watak Agama Islam berkenaan dengan kerja. Tampilnya Islam berarti menyambung kembali tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Musa yang mengajarkan tentang beriman kepada Allah da pendekatan kepada-Nya melalui amal perbuatan baik suatu monoteisme etis.

Karena seluruh aktifitas dapat bernilai sebagai usaha pendekatan kepada Tuhan, maka seluruh hidup manusia mempunyai makna transendental, yanga sehari-harii dinyatakan dalam ungkapan “demi ridla Allah”. Dan adanya keinsyafan akan makna hidup itulah yang membuat manusia berbeda dari jenis hewan yang lain, serta di situlah letak harkatnya (hal. 476).

Penutup

Satu hal yang menjadi misi utama buku ini adalah mengajak kepada kaum muslimin untuk menegakkan paham kemajemukan atau pluralisme. Berkaitan dengan hal tersebut maka Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, sertamampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa ekslusifisme komunal.

Kaum muslimin harus secara otentik mengembangkan paham kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial). Kaum muslimin juga dituntut akan kesanggupan mengembangkan sikap-sikap saling menghagai antara sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa yang diangap penting pada masing-masing orang atau kelompok.

No comments:

Post a Comment