Selesai sudah proses pelaksanaan ibadah haji seluruh umat Islam yang menunaikannya. Keseluruhan proses tersebut berakhir dengan ditandai oleh aktivitas tahallul, yaitu mencukur sebagian atau keseluruhan rambut kepala.
Perasaan gembira dan berbahagia tentu menghiasi wajah dan hati para jama’ah haji. Bahagia dikarenakan telah dapat melaksanakan seluruh rangkaian ritual haji (rukun, wajib maupun sunnah haji), selamat dan masih hidup (sementara jama’ah yang lain ada yang telah menghadap Allah), atau karena telah mendapat predikat haji sehingga orang-orang di kampung akan memanggilnya “Pak Haji” dan “Bu Haji”.
Artikel ini ditulis memang dalam rangka memberikan renungan kepada pembaca tentang judul di atas. Judul di atas menjadi sangat menarik dengan kebiasaan masyarakat kita yang telah menunaikan ibadah haji dengan membuat identitas-identitas khusus. Identitas-identitas tersebut misalnya adalah baju dan kopiah putih, membuat kelompok atau organisasi khusus dan dengan menambahkan huruf “H” bagi pria dan “Hj” bagi perempuan.
Persolaan tersebut sangat manarik karena dapat menjadi bahan diskusi. Kebiasaan-kebiasaan yang hanya ada dalam kawasan Asia Tenggara dapat diskusikan dalam perspektif sosial cultural maupun perspektif Agama.
Artikel ini merupakan catatan kecil tentang hal-hal tersebut dan selanjutnya dapat didiskusikan ulang oleh seluruh pembaca blog ini.
Dalam pandangan saya, haji adalah ibadah sebagai bentuk ketaatan hamba kepada Allah sebagaimana shalat, zakat, puasa dan ibadah yang lainnya. Bukan merupakan predikat atau julukan yang harus dicari sebagaimana title atau gelar kesarjanaan. Haji juga bukan merupakan status sosial yang harus dikejar. Sekali lagi, haji merupakan ibadah yang sangat dituntut keikhlasan dengan hanya mengharap ridha Allah bukan yang lain. Dan menurut saya, kebiasaan-kebiasaan di atas akan sangat mengurangi nilai keikhlasan kepada Allah.
Karena haji sama dengan ibadah yang lain, maka tidak perlu ada predikat dan julukan khusus yang disandang bagi yang sudah menunaikannya. Sama halnya shalat, puasa dan zakat, orang –orang yang yang telah melaksanakan rukun Islam yang lain tidak manambahkan title di depan namanya. Misalanya shalat, pelakunya tidak menambahkan huruf “M” di depan namanya sebagai singkatan dari “mushalli” (orang yang sudah mendirikan shalat). Orang yang sudah membayar zakat juga tidak mendapatkan title muzakki, dan shaim bagi yang sudah melaksanakan puasa Ramadhan.
Rasulullah dan para sahabat masih tetap menggunakan nama yang sama tanpa gelar apapun baik setelah atau sebelum menunaikan ibadah haji. Tidak pernah kita jumpai sebutan bagi Rasullah dalam literature klasik maupun kontemporer “Haji Muhammad SAW” atau “Muhammad al-Hajj”. Demikian juga Abu Bakar, Umar, Usman, Ali maupun sahabat-sahabat yang lain.
Pertanyaannya adalah, kalau Rasulullah tidak pernah menambahkan gelar sesuatu karena beribadah kepada Allah, mengapa kita sebagai pengikutnya justru menambahkan gelar karena beribadah?
Apakah dengan harus menambahkan gelar Haji (H) dan Hajjah (Hj) di depan nama masih terjamin keikhlasan beribadah kepada Allah. Sungguh akan sia-sia bila jerih payah ibadah haji tanpa dibarengi dengan keikhlasan kepada Allah. Keikhlasan sangat diperlukan pada saat akan, sedang dan setelah melaksanakan ibadah termasuk ibadah haji.
Ada contoh tentang keharusan ditambahkannya huruf “H” atau “Hj” di depan nama seseorang yang telah menunaikan ibadah haji.
Pertama, seseorang yang tidak mau menerima surat undangan karena dianggap surat tersebut salah alamat. Kenapa salah alamat, karena pada sampul surat dan surat hanya tertulis nama tanpa embel-embel huruf “H”.
Kedua, ketika seseorang dipanggil dengan hanya menyebutkan namanya, padahal dia telah menunaikan ibadah haji maka tidak akan mau menoleh atau bahkan marah karenanya. Dia lebih senang dipanggal “Pak Haji” atau “Bu Haji” dengan tanpa nama dari pada dipanggil dengan nama tapi tanpa gelar “Pak Haji” atau “Bu Haji”.
Ketiga, ketika harus menuliskan nama sendiri ada rasa “kurang afdhal” bila tidak menmbahkan huruf “H” atau “Hj”. Ada rasa bahwa ibadah haji tidak semua orang mampu melaksanakannya dengan alasannya masing-masing, maka harus ditampakkan dan diperlihatkan kalau dirinya telah beribadah haji.
Contoh-contoh di atas adalah fakta dalam kultur masyarakat kita. Bila tidak hati-hati, maka akan merusak keikhlasan ibadah haji. Seagaimana sabda Rasul :
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَا...رواه البخارى
“Sesungguhnya semua amal tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang akan memperoleh (balasan) sesuai yang diatkannya...(HR. Bukhari)
Semoga menjadi haji mabrur!!!
No comments:
Post a Comment