Saturday, 19 November 2011

Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. III)

Diantara pengaruh-pengaruh ikhtilaf pada masalah ini :

Ikhtilaf pada masalah ini --kontradiksi antara aam dan khaash-- berpengaruh pada ikhtilaf dalam hal-hal furu’, kami sebutkan sebagiannya sebagai berikut :

1.       Masalah penjualan korma yang masih berada di pohon dengan perkiraan korma kering

Abu Hanifah berpendapat tidak di bolehkannya penjualan seperti ini, baik itu lebih sedikit dari lima wasak atau lebih banyak. Dia berhujjah dengan keumuman sabda Nabi saw : “Korma kering dengan korma kering, biji gandum dengan biji gandum, gandum dengan gandum, garam dengan garam,sama serupa, dan dari tangan ke tangan” (H.R. Muslim di kitab Al-Musakaat no. 1588). Mengetahui keserupaan dalam masalah ini adalah diperlukan.

Dan dengan keumuman apa yang diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau melarang muhaqalah (penjualan atau pembelian sewaktu masih diladang) dan muzabanah (menjual buah yang masih di pohonnya) (Riwayat Bukhari dari Anas). Muzabanah ditafsirkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhani dari Ibnu Umar, “Seorang laki-laki menjual buah kebunnya jika pohon korma ditakar dengan korma kering dan jika pohon anggur ditakar dengan anggur kering, dan jika tanaman dijualnya dengan takaran makanan”.

Dia tidak mengambil hujjah dengan hadits khaash yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. : “Memberikan rukhshah dalam menjual ‘araya untuk dijual dengan takaran perkiraan”.

As-Sarkhasy berkata dalam A- Mabsuth : “Hujjah kami dalam hal itu adalah sabda Rasulullah saw : “Korma kering dengan korma kering harus dengan takaran berimbang” dan apa yang di kepala-kepala pohon korma adalah korma kering, maka tidak boleh menjualnya dengan korma kering kecuali dengan takaran berimbang. Hadits ini ‘aam, telah disepakati penerimaannya, maka diunggulkan atau dirajihkan dari khaash mukhtalaf (khaas yang diperselisihkan) dalam penerimaan dan pelaksanaan dengannya”. (As Sarkhasy 12/129).

Sedangkan kebanyakan Hanafiyah mengeluarkan masalah ‘araya dari bab jual-beli serta menafsirkan ‘ariyah (mufrad ‘araya) dengan ‘athiyyah (pemberian). Berkata dalam syarah ‘Inayah ‘Al-Hidayah :

“Kami menerima bahwa Rasulullah saw. telah memberikan rukhshah dalam ‘araya. Sesungguhnya banyak terdapat hadits-hadits yang menunjukkan hal itu dan tidak mungkin menolaknya, tetapi yang kalian sebutkan bukan hakekat artinya, tetapi artinya adalah ‘athiyya (pemberian) secara bahasa, dan ta’wilnya adalah seorang lelaki memberikan buah korma dari kebunnya kepada lelaki lain, kemudian orang itu menyusahkan dengan masuk ke kebunnya setiap hari, karena keberadaan istrinya di kebun, sedangkan ia tidak rela bila harus mengingkari janji dan menarik pemberiannya, maka ia memberikan korma yang terpotong dengan perkiraan sama sebagai ganti dari pemberiannya itu, untuk mencegah bahaya dari dirinya, dan ia tidak mengingkari janjinya. Dengan ini kami katakan bahwa dikarenakan orang yang diberi tidak menjadi pemilik dari sesuatu yang diberikan, selama masih bersambung dengan kepemilikan pemberi, maka korma yang diberikannya bukanlah sebagai ‘iwadl tetapi hibah mubtada’ah dan dinamakan penjualan majaz, karena pada gambarannya adalah ‘iwadl yang diberikan untuk menjaga dari mengingkari janji. Dan disepakati bahwa yang demikian ini pada takaran dibawah lima wasaq, dan perawi menyangka bahwa rukhshah terbatas pada hal itu, maka dia menukil sebagaimana terjadi padanya”. (Fathul Qadir 5/195).

 As Sarkhasi menyebutkan hal yang sama dalam Al Mabsuth. (lihat Al-Mabsuth 12/193).
Jumhur berpendapat dengan pengkhususan keumuman hadits, “Kurma kering dengan kurma kering” dan hadits pelarangan muzabanah dengan hadits yang memberikan rukhshah dan ‘araya, tetapi mereka berselisih dalam menafsirkan arti ‘araya yang di dalamnya ada pemberian rukhshah.

Syafi’i r.a. berpendapat bahwa ‘araya adalah penjualan korma masak di atas pohon korma dengan korma kering di tanah, ataupun anggur di pohon dengan anggur kering, dan dia mensyaratkan bahwa yang demikian hanya boleh dibawah lima wasaq, dengan dasar pengambilan hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhani, “Bahwasanya beliau saw. memberikan rukhshah dalam penjualan ‘araya dengan perkiraan yang jumlahnya dibawah lima wasaq”. (lihat Al-Minhaj an-Nawawi dan syarahnya Mughnil Muhtaj 2/94-94).

Ahmad berpendapat bahwa ‘araya adalah penjualan korma masak di kepala-kepala pohon korma dengan takaran sepadannya dari korma kering yang tidak lagi di pohonnya, dibawah lima wasaq, dan yang demikian ini tidak boleh kecuali yang memiliki kebutuhan untuk memakan korma masak dan tidak ada harga bersamanya, dan yang demikian dibolehkan pada buah-buahan selainnya.

Syarat kebutuhan diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhani dari Mahmud bin Lubaid berkata, “Aku katakan kepada Zaid, ada apa dengan ‘araya kalian ini ? Kemudian dia menyebutkan beberapa lelaki dari Anshor yang membutuhkan, mengadu kepada Rasulullah saw. bahwa korma masak telah datang dan ditangan mereka tidak ada uang untuk membelinya, sedang mereka memiliki kelebihan korma kering, maka Rasulullah saw. memberikan rukhshah untuk membeli ‘araya dengan takaran korma kering yang sudah ada pada mereka, dan mereka memakan buah korma yang masak” (Lihat al-Naqba’ li Ibn Qadamah serta Hasiyah al-Mansubah li as-Syaikh Sulaiman Hufaid Muhammad SAW bin Abd al-Wahab 2/70-71).

2.       Nishab zakat yang dikeluarkan dari tanah

Jumhur dari Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah, juga Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa nishab dalam zakat yang dikeluarkan oleh tanah adalah lima wasaq (satu wasaq adalah 60 gantang). Mereka berhujjah atas pendapatnya tadi dengan hadits : “yang dibawah lima wasaq tidak ada shadaqah” (HR. Bukhari dan Muslim serta selain keduanya dari Abi Syaid Al Khudlri. Mereka menjadikan hadits ini sebagai mukhashish keumuman sabda Rasulullah saw. : “Di dalam apa-apa yang diairi oleh hujan, mata air-mata air, ataupun tanah yang diairi hujan maka (zakatnya) adalah seper sepuluh, dan yang diairi oleh air yang dibuat untuk mengairi tanaman (zakatnya) adalah setengah dari sepersepuluh” (H.R. Bukhari dan Ashab as-Sunan dan lihat Nailul Authar 4/140). Mereka juga mengatakan : “Ini adalah harta yang wajib bersadaqah didalamnya, dan tidak diwajibkan bila jumlahnya hanya sedikit sebagaimana harta-harta yang lain”.

Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat wajib dalam semua yang dikeluarkan dari tanah, baik sedikit maupun banyak. Dia berhujjah dengan keumuman hadits yang lalu, dan menta’wilkan hadits khash serta menjadikannya (dasar) dalam zakat perdagangan. Dia berkata dalam Al-Mabsut : “Dan Abu Khanifah mengatakan  takwil hadits adalah zakat perdagangan”, maka mereka saling menjual dan membeli denga wasaq-wasaq sebagaimana terdapat dalam hadits. Nilai lima wasaq adalah dua ratus dirham (Al Mabsuth 3/3).

Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag.II) atau Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. I)

No comments:

Post a Comment