Saturday 19 November 2011

Masalah Kointradiksi ‘Am dan Khash (Bag. I)

Kontradiksi ‘aam dan khaash terjadi bilamana ada nash ‘aam dan nash khash, dan masing-masing keduanya menunjukkan perbedaan antara satu dengan yang lain.

Sebagaimana firman-Nya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nur : 4).

Dan firman-Nya : “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain dari mereka sendiri, maka kesaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. An-Nur : 6).

Nash pertama adalah ‘aam, berlaku menyeluruh untuk setiap orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina), baik itu suaminya sendiri atau bukan. Dan nash kedua adalah khusus untuk para suami, tidak kepada selainnya.

Sedangkan jumhur yang mengatakan bahwa penunjukan ‘aam atas semua hal ditunjuk oleh ‘aam (afraadu-l-‘aam) merupakan dhanniyah, tidak menetapkan adanya kontradiksi antara keduanya (‘aam dan khash), tetapi mereka memberlakukan khas sebagaimana yang ditunjukkan oleh khas, dan memberlakukan ‘aam untuk selainnya, yakni mengkhususkan ‘aam dengan khas dan menetapkan khash atas ‘aam, karena dalalah khash adalah qath’iyah sedang ‘aam dalalah-nya adalah dhanniyah.

Adapun Hanafiyah, yang berpegang pada kaidah mereka bahwa ‘aam memiliki sifat qath’i. Dalam masalah ini, mereka menetapkan adanya kontradiksi di antara keduanya sesuai dengan kadar yang ditunjukkan oleh khash karena kedua-duanya sama-sama qath’i.

Dengan demikian permasalahan ini menjadi satu dari empat permasalahan :
1.       Tidak diketahui kronologinya yaitu tidak diketahuinya keterdahuluan khash atas ‘aam ataupun keterdahuluan ‘aam atas khash. Dengan kondisi seperti ini hukum ta’arudl (kontradiksi) menjadi tetap atas keduanya, lalu disandarkan pada tarjih. Bila tidak ada pentarjihan, maka persoalan selesai pada kenyataan kronologis dan tidak diberlakukan salah satu dari keduanya dalam hal-hal yang ditunjukkan oleh khash. (lihat Irsyadul Fukhul, hal 163).

Contoh dari kasus ini adalah firman-Nya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, .....” (Al-Baqarah : 234).
Dengan firman-Nya :

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (At-Thalaq : 4)

Menurut Ali bin Abi Thalib r.a., kontradiksi dalam hal ini terletak pada wanita hamil yang ditinggal mati suaminya. (lihat At-Talwih, hal 41).

2.       Diketahui kronologinya. Hal ini menjadi pembanding baginya dalam (sebab) turunya, bila keduanya berasal dari Al-Quran atau dalam hal (sebab) wurud-nya, bila keduanya berasal dari hadits. Dalam hal ini, khash menjadi mukhashish (bagi) ‘aam, sebagaimana dalam firman-Nya : “dan mengharamkan riba” dengan firman-Nya “padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (Al-Baqarah : 275). Contoh lain adalah firman-Nya dalam hal orang sakit, “dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu”, dengan firman-Nya, “Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya)di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu”. (Al-Baqarah : 185).

3.       Diketahui kronologinya bahwa khash datang kemudian. Maka khash me-nasakh ‘aam sebatas yang diterima keduanya bila ketetapannya sama dengan ‘aam. Sebagaimana firman-Nya dalam menjelaskan hukuman bagi penuduh zina : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera” (An-Nur : 4) dengan firman-Nya : “dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (An-Nur : 6).


Nash pertama bersifat ‘aam, mencakup semua suami dan selain mereka. Dan nash kedua bersifat khash tentang para suami. Telah diketahui bahwa nash khash turun lebih akhir dari pada nash ‘aam (Al-Mir’ah juz : 1 hal : 354-355).

Diriwayatkan dalam shakhih Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Hilal bin Ummayah menuduh istrinya berzina dengan Syuraiq bin Samha’ di hadapan Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda : “(Tunjukan) bukti atau hukuman di punggungmu”, dia berkata : “Wahai Rasulullah, jika salah seseorang diantara kami melihat seseorang lelaki diatas istrinya, haruskah ia pergi berusaha mencari bukti ?”. Nabi SAW kembali bersabda : “Bukti dan bila tidak, hukuman di punggungmu”. Maka Hilal berkata : “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran sungguh aku benar, Allah pasti benar-benar akan menurunkan sesuatu yang menyelamatkan punggungku dari hukuman”. Kemudian Jibril turun dan menurunkan kepada Nabi Saw : “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)...kemudian ia membaca hingga sampai pada ayat....dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (Al-Bukhari juz : 6, hal : 4).

Maka ayat ini menjadi nasikh.

Dan sebagaimana firman-Nya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri”. (Al-Baqarah : 234) dengan firman-Nya : “Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai melahirkan kandungannya”. (Ath-Thalaq : 4).

Ayat pertama adalah ‘aam mencakup setiap istri. Sedang ayat kedua khash hanya dalam masalah istri hamil. Ayat kedua datang belakangan dibanding ayat pertama, menurut Ibnu Mas’ud bahwasanya ia berkata : “Barang siapa menginginkan jandanya, sesungguhnya surat Nisa’ yang pendek turun setelah surat Nisa’ yang panjang, dan firman-Nya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”, turun setelah “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (At-Taudliih I/39).

4.       Diketahui kronologinya dan ‘aam datang kemudian setelah khash, baik bersambung maupun ayatnya datang belakangan. Yang digunakan adalah ‘aam dan menjadi nasikh terhadap khash sebagaimana hadist tentang ‘Ariniyyin dengan sabda Nabi saw. : “Sucikanlah diri kalian dari air kencing, karena umumnya siksa kubur adalah dari air kencing” ( HR. Sa’id bin Manshur dan dalam riwayat Ad-Daruqutni dengan lafadh, “Tanazzahu minal baul” lihat Nailul-Authar : I/93).
5.        
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. dan lafadznya milik Bukhari : “Bahwa sekelompok manusia rendahan dan ‘arinah (hidup di kumpulan pepohonan) datang ke Madinah menghadap Nabi saw. dan berbicara dengan keislaman kemudian berkata : “ Wahai Nabi Allah, sesungguhnya kami adalah kaum papa dan bukan kaum yang berkelebihan dalam makan dan minum”. Lalu mereka memandang bahwa udara Madinah tidak cocok untuk mereka, maka Rasulullah saw, memerintahkan agar mereka diberi sekumpulan onta dan pengembala, dan beliau menyuruh untuk keluar (dari Madinah) bersamanya, sehingga bisa minum dari susu onta tersebut dan dari air kencingnya. Maka merekapun berangkat, sehingga ketika mereka sampai di daerah yang tidak berpasir mereka kembali kafir setelah keislaman mereka, membunuh pengembala Nabi saw. dan mengiring onta-onta. Peristiwa itu sampai kepada Nabi saw. beliau lantas mengirim utusan untuk meminta kembali onta-onta tersebut , memerintahkan mengurus mereka, maka mereka mencukil mata-mata para penghianat tersebut, memotong tangan-tangan dan kaki mereka dan meninggalkan mereka di daerah yang tidak berpasir itu sehingga mereka mati dalam keadaan seperti itu”.

Qatadah berkata : “telah sampai kepada kami bahwa Nabi saw. setelah itu memerintahkan untuk bersedekah dan melarang untuk melakukan hukuman sebagai pembalasan”.(Al-Bukhari V/70-71 bab kisah ‘Akl Wa ‘Ariniyah).
 Hadist tentang ‘Ariniyin ini khusus dalam hal kencing onta, dan hadist ini telah ada terlebih dahulu dari hadist yang menunjukan tentang keumuman kewajiban bersuci dari segala kencing, karena pelaksanaan hukuman sebagai pembalasan yang tercakup dalam hadist telah di nasakh dengan kesepakatan, karena keberadannya terdapat pada permulaan Islam (lihat Manarul Arwansyar Al Manar Li-b-ni Malik 74-75, Matba’ah Utsmaniyah). 

No comments:

Post a Comment